Posted by indra kh in travel and places.
trackback i
1 Votes

Anda pernah makan ubi Cilembu? Siapapun yang mencicipi ubi produksi sebuah desa di Kabupaten Sumedang ini dijamin akan ketagihan. Rasanya yang empuk, legit, wangi dan rasa manis dari karamel yang keluar saat ubi di-oven, merupakan pilihan makanan yang pas sebagai teman minum teh, kopi, apalagi bandrek maupun bajigur. Karena rasa manisnya yang khas itulah, ubi Cilembu juga kerap disebut “si madu.”
Beberapa waktu lalu, saya dan keluarga berkunjung ke daerah yang terletak di ketinggian 1000 m dpl ini untuk bersilaturahmi kepada seorang kerabat.
Cilembu hanyalah sebuah desa kecil yang termasuk Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Ubi sebenarnya bukanlah tanaman prioritas warga Cilembu, karena mereka sebagian besar adalah petani padi.
Kondisi sawah yang merupakan jenis tadah hujan membuat para petani memilih jagung dan ubi sebagai tanaman selingan di saat musim kemarau. Menanam ubi di saat musim kemarau cenderung dipilih karena saat musim hujan, rasa ubi tersebut biasanya berubah menjadi agak pahit. Kadar air yang menjadi lebih tinggi pada ubi diduga sebagai penyebabnya.
Oleh karena itu, untuk menghasilkan rasa yang optimal, bagi Anda yang membeli ubi cilembu mentah, sebaiknya menjemurnya dulu hingga berkurang kadar airnya. Baru kemudian di-oven, atau di-bubuy (di simpan di atas bara api).
Ubi Cilembu konon telah dikenal sejak jaman kompeni. Menurut Kodar Solihat dalam tulisannya di HU. Pikiran Rakyat, “Dari sepuluh kultivar ubi jalar yang ditanam, yang kemudian menonjol karena rasanya paling enak, lebih manis dan legit, adalah kultivar Nirkum. menurut masyarakat, konon singkatan dari Meneer Kumpeni (waktu itu ubi jenis ini banyak digemari orang Belanda). Kultivar Nirkum inilh yang kemudian dikenal sebagai ubi cilembu.
Kendati demikian, ubi cilembu tidak tumbuh di seluruh daerah ini. Hanya sekitar 20 hektar saja areal tanah yang cocok ditanami ubi jenis ini. Demikian menurut pengakuan salah seorang warga Cilembu kepada saya. Musim panen raya ubi pun dalam setahun hanya terjadi sekali, yakni antara bulan Juli – September.
Yang jadi pertanyaan, mengapa seolah-olah stok ubi tak ada habisnya ? Pemandangan ini bisa kita saksikan jika melihat deretan kios-kios di sepanjang jalan raya Jatinangor – Sumedang, Bandung – Nagreg, ataupun Bandung – Cikalong wetan yang buka sepanjang hari. Di sana rata-rata pedagang menempelkan papan reklame di depan kiosnya yang bertuliskan : “Jual Ubi Cilembu Asli.” Memang, mungkin ubi yang mereka jual adalah ubi asli dari Cilembu, namun bukan berasal dari areal tanah yang bisa ditanami ubi “si madu.” Jadi hanya ubi jalar biasa.
Lalu bagaimana caranya untuk mengetahui ubi yang dijual adalah ubi Cilembu asli ?
Sulit untuk menentukannya. Caranya hanya jika kita bisa melihat langsung saat panen raya di areal tanah yang khusus menanam ubi Cilembu. Atau minimal kalau hendak membeli ubi, pilih saja di bulan Juli – September, di saat stok ubi “si madu’ melimpah.
Kebetulan saat kunjungan beberapa waktu saya masih kebagian stok tahun kemarin yang masih disimpan. Sehingga bisa mencicipi ubi Cilembu asli. Ditambah jagung manis rebus dan secangkir kopi pahit, rasanya sungguh lezat.
Wilujeng ngaraosan (selamat mencicipi)

.